Selasa, 17 Juli 2012

NASIB PARA NELAYAN KECIL PANTAI SELATAN SOLOR

Solor adalah sebuah pulau kecil dalam deretan kepulauan Solor, dan merupakan pulai terkecil. Sebagaian besar penduduknya mengantungkan hidupnya dengan bertani di ladang, walau keadaan tanahnya kurang subur. Untuk menambah pengahsilan sebagaian kecil masyarakatnya, khususnya masyarakat Solor Selatan , seperti masyarakat desa Watan Hura ( Lebao, Lamawai dan Kwuka ), desa Bubu-Apelame, Kalike, Lemanu, Sulengwaseng, Kalike dan Lamawohon.juga menjadi nelayan pada musim-musim tertentu,misalnya sehabis menanam, memetik atau memanen dll. Dulunya para nelayan kecil ini merasa tidak ada kesulitan kalau melaut. Selalu saja ada ikan yang dibawa pulang, entah untuk dijual atau dikonsumsi sendiri. Tetapi sekarang situasinya sudah berubah, bahkan berbalik seratus derajat. Laut bukan lagi merupakan sebuah tempat yang menyimpan harapan dan rezeki. Para nelayan kecil ini menyadari bahwa seringkali mereka harus kembali ke rumah dengan kecewa, karena hasil tangkapan jauh dari memuaskan, bahkan kadang mereka harus menerima kenyataan pahit,karena walau sudah berjuang semalam suntuk, tapi tidak seekor ikan pun yang bisa dibawa pulang. Mereka menyadari bahwa hal ini bisa terjadi karena jumlah ikan berkurang. Tetapi mereka juga sadar bahwa berkurangnya jumlah ikan ini, bukan karena bertambah banyaknya para nelayan dan aktivitasnya dalam menangkap ikan, tetapi rusaknya habitat ikan karena maraknya kasus bom ikan yang sudah ada dari dulu kala hingga saat ini. Dan lebih menarik lagi kasus bom ikan ini, seakan-akan dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya dari pemerintah setempat, khususnya aparat penegak hukum untuk mengatasinya. Bahkan lebih buruk lagi ada rumor yang berkembang di masyarakat, bahwa usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bom ini dibacking oleh aparat keamanan, sehingga pemerintah juga tidak berdaya untuk mengatasinya. Sepanjang tahun 2010-2012, khususnya di musim kemarau, sepanjang pantai selatan Solor yang membentang dari Tanah Lein sampai Lebao, seakan akan menjadi wilayah perang karena kapan saja kita bisa mendengar bunyi letusan keras yang berasal dari bom ikan. Pada saat yang sama, juga terbentuk Solor Selatan menjadi kecamatan sendiri, terlepas dari Kecamanatan Solor Barat. Apakah Solor Selatan masih terlalu muda usianya, sehingga belum ada kecakapan, kemampuan dan keberanian untuk mengatasi masalah seperti ini ? Ataukah para pimpinan kecamatan yang baru ini menutup mata dan telinga terhadap kenyataan ini ? Bagaimanapun juga, segala perilaku yang bertentangan dengan hukum dan merugikan hayat hidup orang banyak harus ditindas secara hukum pula. Jika tidak maka pelanggaran hukum akan semakin menjadi-jadi, dan para pemimpin setempat akan kelhilangan legitimasinya. Semoga masyarakat pantai selatan Solor dapat bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk bersama-sama menyelamatkan trumbu karang sepanjang pantai selatan, demi nasib para nelayan kecil saat ini dan demi masa depan anak cucu.

Selasa, 10 Juli 2012

PREMAN DI KOTA REINA

Bagi orang Flores Timur, Larantuka adalah sebuah kota pelabuhan yang cukup ramai. Setiap hari selalu saja ada kegiatan bongkar muat kapal-kapal barang, juga tempat singgah berbagai kapal penumpang, baik kapal-kapal kecil antar pulau, juga kapal-kapal penumpang berkapasitas besar seperti kapal Sirimau, Tidar, Tatamailau dll. Kota kecil ini semenjak dulu kala , sudah menjadi kota administartif sebab menjadi ibu kota Kabupaten Flores Timur; juga menjadi kota bisnis, karena banyak kegiatan ekonomi dilakukan di kota ini, seperti untuk menjual hasil-hasil pertanian dan peternakan kecil dan nelayan. Sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan menjadi pusat ekonomi, mestinya kondisi kota ini harus kondusif, agar berbagai kegiatan dapat berlangsung aman dan lancar di tempat ini. tetapi sayang, kota pelabuhan ini menjadi tidak nyaman karena ulah para porter pelabuhan yang tidak ada bedanya dengan preman. Kondisi seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Bahkan semakin tahun semakin memburuk. Para calon penumpang dan penumpang merasa sangat tidak nyaman dengan ulah para porter. Mereka merasa ditekan, diintimidasi bahkan seperti dirampok oleh para porter, yang menuntut bayaran yang sangat tinggi pada hal hal barang barang yang dipikul tidalah banyak dan ringan pula. Bahkan seringkali para porter melarang para penumpang membawa sendiri barang-barangnya. Menjadi pertanyaan, apa dasarnya para porter itu menetapkan harga yang begitu tinggi, untuk barang yang kecil dan ringan. Apakah pihak sabandar dengan pemerintah setempat sangat tidak berdaya berhadapan dengan para porter, sehingga tidak berani mengeluarkan suatu kebijakan ? Ataukah pihak sabandar dan pemerintah, juga mengambil keuntungan dari situasi ini ? beberapa waktu yang lalau saya membaca bahwa bapak Bupati telah mengeluarkan perintah kepada institusi terkait agar menertibkan masalah ini. Tentu sekali niat baik saja belum cukup. Perlu ada tindakan nyata. Semoga masalah porter di pelabuhan Larantuka, menjadi perhatian semua pihak, khususnya pemerintah daeah.